Tujuan resmi Bank Dunia adalah pengurangan kemiskinan. Menurut
Articles of Agreement Bank Dunia (sebagaimana telah diubah, efektif
sejak 16 Februari 1989) seluruh keputusannya harus diarahkan oleh sebuah
komitmen untuk mempromosikan investasi luar negeri, perdagangan internasional, dan memfasilitasi investasi modal.
Bank Dunia berbeda dengan Grup Bank Dunia (World Bank Group), dimana Bank Dunia hanya terdiri dari dua lembaga: Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development) (IBRD) dan Asosiasi Pembangunan Internasional (International Development Association)
(IDA), sementara Grup Bank Dunia mencakup dua lembaga tersebut ditambah
tiga lagi: International Finance Corporation (IFC), Multilateral
Investment Guarantee Agency (MIGA), dan International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID).
Pengoperasian Bank Dunia dijaga melalui pembayaran sebagaimana diatur
oleh negara-negara anggota. Aktivitas Bank Dunia saat ini difokuskan
dalam bidang seperti pendidikan, pertanian dan industri. Bank Dunia memberi pinjaman
dengan tarif preferensial kepada negara-negara anggota yang sedang
dalam kesusahan. Sebagai balasannya, pihak Bank juga meminta bahwa
langkah-langkah ekonomi perlu ditempuh agar misalnya, tindak korupsi dapat dibatasi atau demokrasi dikembangkan.
Bank
Dunia didirkan pada 27 Desember 1945 setelah ratifikasi internasional
mengenai perjanjian yang dicapai pada konferensi yang berlangsung pada 1
Juli–22 Juli 1944 di kota Bretton Woods. Markas Bank Dunia berada di
Washington, DC, Amerika Serikat. Secara teknis dan struktural Bank Dunia
termasuk salah satu dari badan PBB, namun secara operasional sangat
berbeda dari badan-badan PBB lainnya.
Peran Bank Dunia dalam Imperialisme Ekonomi dan Politik Global
Rittberger dan Zangl (2006: 172) menulis,
sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah konsentrasinya karena situasi
semakin meningkatnya jurang perekonomian antara negara berkembang dan
negara maju. Pada era itu, seiring dengan merdekanya negara-negara yang
semula terjajah, jumlah negara berkembang semakin meningkat.
Negara-negara berkembang menuntut distribusi kemakmuran (distribution of
welfare) yang lebih merata dan negara-negara maju memenuhi tuntutan ini
dengan cara menyuplai dana pembangunan di negara-negara berkembang.
Basis keuangan Bank Dunia adalah modal
yang diinvestasikan oleh negara anggota bank ini yang berjumlah 186
negara. Lima pemegang saham terbesar di Bank Dunia adalah AS, Perancis,
Jerman, Inggris, dan Jepang. Kelima negara itu berhak menempatkan
masing-masing satu Direktur Eksekutif dan merekalah yang akan memilih
Presiden Bank Dunia. Secara tradisi, Presiden Bank Dunia adalah orang AS
karena AS adalah pemegang saham terbesar. Sementara itu, 181 negara
lain diwakili oleh 19 Direktur Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan
menjadi wakil dari beberapa negara).
Bank Dunia berperan besar dalam membangun
kembali tatanan ekonomi liberal pasca Perang Dunia II (Rittberger dan
Zangl, 2006: 41). Pembangunan kembali tatanan ekonomi liberal itu
dipimpin oleh AS dengan rancangan utama mendirikan sebuah tatanan
perdagangan dunia liberal. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk
tatanan moneter yang berlandaskan mata uang yang bebas untuk dikonversi.
Rittberger dan Zangl (2006: 43) menulis, “Perjanjian Bretton Woods
mewajibkan negara-negara untuk menjamin kebebasan mata uang mereka untuk
dikonversi dan mempertahankan standar pertukaran yang stabil terhadap
Dollar AS.”
Lembaga yang bertugas untuk menjaga
kestabilan moneter itu adalah IMF (International Monetary Funds) dan
IBRD (International Bank for Reconstruction dan Development). IBRD
inilah yang kemudian sering disebut “Bank Dunia”. Pendirian Bank Dunia
dan IMF tahun 1944 diikuti oleh pembentukan tatanan perdagangan dunia
melalui lembaga bernama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
pada tahun 1947. Pada tahun 1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World
Trade Organization).
Organisasi-organisasi ini mulai mendorong
suatu model universal dalam pembangunan ekonomi global dan pertumbuhan
melalui kredo neo-liberal, yang berfokus pada kepentingan pertumbuhan
ekonomi. Namun, yang sebenarnya merupakan eksploitasi berbasis-paradigma
pembangunan. Sebagai hasil, sistem ekonomi dunia menjadi tidak setara.
Statistik menemukan bahwa kelompok negara-negara G8 (di dunia
negara-negara terkaya) mewakili 85% dari GNP dunia dan menguasai 75%
dari perdagangan dunia. Sementara itu, jumlah orang yang hidup di bawah
standar $ 1/day kemiskinan terus meningkat di seluruh dunia.
Meskipun tugas Bank Dunia adalah mengatur
kestabilan moneter, namun dalam prakteknya, Bank Dunia sangat
mempengaruhi politik global karena hampir semua negara di dunia menjadi
penerima utang dari Bank Dunia. Bank Dunia dan IMF memiskinkan
negara-negara dunia ketiga melalui utang-utang yang diberikannya. Banyak
negara seperti Argentina, negara-negara di Afrika dan juga termasuk
Indonesia menanggung beban utang sampai pada level tak mampu
melunasinya. Sehingga, negara-negara tersebut terpaksa membayar cicilan
pokok dan bunga dengan mengambil utang baru. Kejadian tersebut terus
terulang dan menyebabkan ketergantungan negara-negara miskin terhadap
utang.
Sejak awal beroperasinya, Bank Dunia
sudah mempengaruhi politik dalam negeri negara yang menjadi
penghutangnya. Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi
kebijakan politik dan ekonomi suatu negara, disebut SAP (Structural
Adjustment Program). Bila negara-negara ingin meminta tambahan hutang,
Bank Dunia memerintahkan agar negera penerima utangmelakukan “perubahan
kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal
menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan
kebijakan yang diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas,
privatisasi, dan deregulasi ( Dinasulaeman.wordpress.com/2009/12/30)
Karena adanya SAP ini, tak dapat
dipungkiri, pengaruh Bank Dunia terhadap politik dan ekonomi dalam
Negara Indonesia juga sangat besar. Utang dana segar bisa dicairkan bila
Negara tersebut menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP
mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang
bentuknya, antara lain:
1. Swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. Deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. Pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, dan pupuk
4. Menaikkan tarif telepon dan pos
5. Menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya jumlah utang (yang terus
bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN
untuk membayar utang dan bunganya. Sebagai illustrasi, utang luar negeri
Republik Indonesia terus membumbung tinggi. Data Bank Indonesia (BI)
mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041
miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs
Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000
triliun.
Nilai utang ini naik 17,55 persen dari
periode yang sama tahun lalu. Akhir Januari 2009, nilai utang luar
negeri Indonesia baru sebesar 151,457 miliar dollar AS. “Dari sisi
nominal memang naik, namun jika kita melihat dari persentase debt to GDP
ratio, angkanya terus menurun,” ungkap Senior Economic Analyst Investor
Relations Unit (IRU) Direktorat Internasional BI Elsya Chani .
Nilai utang tersebut terdiri atas utang
pemerintah sebesar 93,859 miliar dollar AS, lalu utang bank sebesar
8,984 miliar dollar AS. Lalu, utang swasta alias korporasi non-bank
sebesar 75,199 miliar dollar AS. Sebagian besar utang tersebut bertenor
di atas satu tahun. Nilai utang yang tenornya di bawah satu tahun hanya
sebesar 25,589 miliar dollar AS.
Elsya menuturkan, meski secara nominal
nilai utang luar negeri Republik Indonesia terus naik. Namun, nilai
rasio utang terhadap GDP terus terjadi penurunan. “Debt to GDP ratio
tahun 2009 sebesar 27 persen. Sedangkan tahun 2008 masih 28 persen,”
jelasnya. (Kompas.com, 16/4/2010)
Pemerintah Indonesia di tahun ini
berencana untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp
54,136 triliun pada APBN-P 2010. Demikian pula jumlah defisit dalam
APBN-P 2010 dinaikkan dari semula 1,6% atau Rp 98,009 triliun menjadi
2,1% atau Rp 129,816 triliun. Kenaikan defisit ini rencananya akan
ditutupi lewat pembiayaan non utang Rp 25,402 triliun dan pembiayaan
utang Rp 108,344 triliun.
Pembiayaan non utang ini salah satunya
akan berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) di tahun
2009.Untuk pembiayaan dari utang, pemerintah berencana untuk menarik
pinjaman luar negeri sebesar Rp 70,777 triliun. Kemudian dari penerbitan
surat utang (SBN/Surat Berharga Negara) sebesar Rp 107,5 triliun
(Detikfinance.com 3/5/2010).
Komposisi dalam anggaran belanja negara
tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras
sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan
rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski
Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”,
namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka
kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun
2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal
Ramli (2009), “Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank
Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya
memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang
menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di
bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB
yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan
Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank
Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan
lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan
negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan utang, diceritakan
secara detil oleh John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”.
Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan
bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini
memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di
negara-negara berkembang yang dananya berasal dari utang kepada Bank
Dunia, IMF, dll.
Tak heran bila kemudian ekonom Joseph
Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya
“institusi yang tidak bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau
bahkan stabilitas ekonomi”. Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank
Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut,
sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk membantu
mengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar